^^

I am....

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
I live Journalistic, I speak Music, I write Paintings, I breath Words. Find me on Instagram as tamikira ! :)
Diberdayakan oleh Blogger.

I love my dad

I love my dad

I love my Mom

I love my Mom



Jumat, 14 Juni 2013

KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL (2)


.........

Oh iya… Bener… Bener…

“Jadi 1001 (perbandingan) orang yang menengah ke atas (untuk terkena kusta).”


Sedikit pasien meninggal. Antara satu sampai sepuluh, hanya tiga yang meninggal, menurut Ibu Elisabet. Yang membuat ngeri hanyalah kecacatan yang ditimbulkan penyakit akibat bakteri Mycobacterium leprae ini. Kusta tidak menyerang lever. Tidak menyerang jantung. Dari seribu pasien, delapan ratus sembuh total, asal rajin menjalani pengobatan. Kusta menyerang saraf tepi. Pasien-pasien yang meninggal adalah mereka yang terkena penyakit komplikasi. Minuman keras. Rokok. Hidup tidak sehat. Tidak bersih. Itulah penyebab-penyebab kematian. Ulah mereka sendiri.
Kusta basah. Kusta kering. Dua jenis kusta. Luka-luka dan bernanah, itu adalah karakteristik kusta basah. Reaksi dan menimbulkan cacat permanen di anggota tubuh, itu adalah karakteristik kusta kering. Mengerikan, namun tidak mematikan.


“Pengemis jalanan sebenernya sudah sembuh, tapi mereka bikin (luka) lagi untuk cari nafkah. Karena mereka sudah ditolak masyarakat.”

            Jijik. Takut. Parno. Ingin menghindar. Leprophobia, ketakutan berlebihan terhadap penderita kusta. Potret masyarakat.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 42 Tentang Hak Asasi Manusia:
“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Apa kabarnya bantuan-bantuan itu?
Bagaimana usaha untuk membina penderita kusta yang sudah keluar dari rumah sakit?
Di mana kah Hak Asasi Manusia?

****

Seperti apa RSK Dr. Sitanala itu?
“Sitanala dulu rumah sakit kumuh. Tapi baru-baru ini direnovasi.” (Servulus Armando Dje, Mahasiswa)

BANGUNAN zaman Belanda. Tua. Model kuno. Baru direnovasi. Secure parking. Cat berwarna hijau muda. Atap coklat tua. Tangerang, Banten.  Bangunannya berbentuk khas Belanda. Halaman luas membuat kami menelusur jalanan rumah sakit itu dengan mengendarai motor. Area lahan 54 hektar. RSK Dr. Sitanala. Dulu, rumah sakit ini adalah rumah sakit khusus kusta yang didirkan Departemen Kesehatan RI dan diberi nama ‘Rumah Sakit Sewan’ pada 28 Juli 1951.  Sebagai penghargaan kepada dr. J.B. Sitanala, dokter yang berasal dari Maluku dan pertama kalinya di Indonesia menangani penderita kusta, pada 1962 rumah sakit ini diganti namanya
dengan ‘Pusat Rehabilitasi Sitanala’. Ny. Rahmi Hatta, Ibu Wakil Presiden RI Pertama, meresmikan rumah sakit ini. ‘Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala’ menjadi nama rumah sakit ini hingga sekarang, dan melayani penyakit umum juga, di samping kusta.

Pasien kusta terlihat di koridor ruang perawatan. Di koridor Seruni dan Flamboyan. Ada yang menggunakan kursi roda, ada yang masih berjalan biasa, dan ada yang buta.
           
Kaos putih bertuliskan ‘Thailand’ dan rok selutut ber motif batik mewarnai penampilan wanita yang sudah 25 tahun menjalani kehidupannya melayani penderita kusta di RSK Dr. Sitanala.  Bertemu di kantin rumah sakit yang lumayan bersih dan rapih, perawat ini melantunkan kata-kata yang mungkin selama ini mengganjal hatinya.

“Mereka (orang lain di sekitar ibu Elisabet) menganggap enteng sekali kalo kerja di sini (RSK Dr. Sitanala). Ada kusta apa gitu.”

Mata sayunya kian menurun. Merenung.
Suaranya ringan. Mengalun dan santai. Logat Sumatera-nya nyaris tak terdengar.
Di sela-sela kisahnya dan RSK Dr. Sitanala, ia bercerita tentang keluarganya.
Dua orang putri, melaksanakan  studi psikologi di perguruan tinggi (UKRIDA) dan sekolah menegah pertama.
Seorang suami, TNI, yang kini almarhum.

“Saya gak malu kerja di sini. Dulu saya di RSU Tangerang,” lanjut ibu yang gemar bernyanyi dan bermain voli ini.

            Penerimaan. Penghargaan. Rasa peduli. Kasih sayang. Semangat. Buah-buah kehidupan yang didamba pasien-pasien kusta RSK Dr. Sitanala. Damba mereka ini menjadi kebahagiaan ketika mendapati pelayanan dan ‘hidup normal’ dari para perawat Rumah Sakit Kusta yang bertempat di Tangerang ini. Para perawat senantiasa membantu mereka dan mengobrol. Saling bertukar kisah  dan kasih.
            Ibu Elisabet bercerita tentang seorang pasien kusta yang masih remaja. Perempuan. Waktu itu tahun 1989 atau 1990-an. Saat diantar oleh keluarganya ke rumah sakit, ia dititipkan begitu saja. Setelah itu, keluarganya tidak pernah menjenguk lagi. Gadis ini menjadi sedih dan merasa telah dibuang dan tidak dianggap seseorang lagi di keluarganya.
            Ada pula cerita tentang seorang suami yang menderita kusta. Namun, ia menyembunyikan penyakit ini dari istrinya dan tidak mau berobat ke rumah sakit. Setelah kusta itu tidak bisa ditahan lagi, akhirnya ia mendatangi RSK Dr. Sitanala bersama istrinya, dan bertemu dengan ibu Elisabet, yang sedang berjaga saat itu. Mengetahui suaminya mengidap kusta, istri ingin meminta cerai. Sering mendapati keadaan seperti ini, ibu Elisabet gusar.

“‘Ibu ingat,” saya bilang, “sakit di suami Ibu kayak gitu, Ibu ga mau lagi merawat dia. Ga boleh begitu, Bu. Seandainya Ibu yang begitu.”,’ ujarnya menirukan adegan kejadian beberapa tahun lalu.

‘”Kalau ibu merawat suaminya dalam sakit-sakitnya begini, Ibu bahkan tidak bisa kena. Jadi ga boleh takut. Saya aja merawat setiap hari ga takut.”’


............................(bersambung ke "KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL (3))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar