TILIK
IMOGIRI
Oleh Maria Meidiatami Kira
‘SELAMAT DATANG DI MAKAM RAJA-RAJA.’
“Pak, di sini tempat parkirnya, ya?”
tanya mama saya, dari kemudi mobil.
Seorang lelaki
mendekat. Baju tradisional Jawa-nya berwarna hijau. Ia memakai jarik, kain batik panjang yang
dilingkarkan di pinggang sebagai bawahan. Ia mengenakan blangkon, semacam topi, khas Jawa. Kulitnya sawo matang. Keriput ada
di bagian mata dan sekitar pipinya.
“Bisa. Tapi dari sini masih naik lagi.
Jauh,” katanya.
“Mobil bisa naik nggak ke sana?”
“Bisa. Mari, saya antar,” ujar lelaki itu
dengan logatnya yang halus dan medhok.
Ia mengambil sepeda motor tuanya. Mulai memandu.
Naik…
Naik…
Ke
puncak (bukit) gunung…
Tinggi…
Tinggi
sekali…
Kopling. Gigi
satu. Gas. Pedal kopling ditahan setengah. Gigi satu tetap. Pedal gas ditekan
setengah, lebih sedikit. 40 km/ jam. Roda-roda berputar, berusaha menghantarkan
badan mobil yang berisi empat penumpang. Kecepatannya stabil. Tidak ngebut, tidak lelet. Wajar saja, medan yang ditempuh si mobil ini ternyata tidak
mudah. Jalan sempit. Kendaraan, khususnya mobil, harus saling menunggu ketika
berpapasan. Berliku. Sama halnya dengan jalan pegunungan, perbukitan pun
memiliki jalan yang tidak lurus. Terjal. Jalanan menanjak. Jalan menurun.
Kiri…
Kanan…
Kulihat
saja…
Banyak
pohon...
Pohon-pohon
berbatang tinggi. Daun-daunnya kecil, hijau muda. Hijau tua, sebagian. Yang
jelas itu bukan cemara. Bukan pohon jati. Mungkin pohon karet.
Rimbun tanaman hijau di pinggir jalan
seolah menyaksikan perjuangan si mobil mencapai puncak bukit yang merupakan
makam-makam para Raja Yogyakarta. Raja-Raja Surakarta yang telah meninggal ada
juga yang di kubur di sana.
Pemakaman ini seperti pemakaman biasanya.
Pohon-pohon. Kamboja. Penjaga makam. Suasana sepi. Namun, ada pula yang membedakan
pemakaman ini dengan pemakaman pada umumnya. Candi-candi. Pintu gerbang. Juru
kunci. Tata cara berpakaian. Mitos.
Bapak
pemandu yang berbicara dengan logat Jawa yang kental ini menerangkan
seluk-beluk Imogiri dengan terstruktur dan gampang dimengerti.
“Ini makamnya cuma dibuka pas hari-hari tertentu saja,” katanya,
“kalau mau masuk, bisa, tapi harus minta surat izin dulu ke juru kunci.”
Rp 100.000,00/ orang. Biaya yang tidak
sedikit untuk surat izin. Lelaki dengan blangkon di kepalanya ini menerangkan
tentang pendapatan para penjaga makam yang tidak banyak. Mereka mengandalkan
rezeki yang didapat melalui pengunjung yang ingin mengunjungi makam dengan
surat izin.
“Nanti kalo mau masuk ke makam, harus ganti pakaian, ya,” ujar sang
pemandu.
Kemben, kain panjang sampai kaki, tanpa
perhiasan. Syarat untuk pengunjung perempuan. Baju peranakan, kain panjang
sampai kaki, blangkon. Syarat untuk pengunjung laki-laki. Namun, dengan berat
hati saya dan keluarga tidak jadi mengunjungi makam-makam tersebut. Kami
memutuskan untuk melihat makam dari luar saja.
Kembali
ke soal makam. Di Imogiri, makam tidak hanya ditempatkan di suatu tempat
layaknya makam ditempatkan. Adalah Tumenggung Endranata, seorang pribumi yang
mengkhianati bangsanya sendiri. Ia memberitahukan letak lumbung padi kepada
Belanda, sehingga lumbung itu dimusnahkan oleh mereka. Perilaku si pengkhianat
tersebut mendapat ganjarannya. Tumenggung Endranata dipenggal kepalanya,
dipotong tubuhnya, sehingga ada tiga bagian terpisah. Kepalanya dikubur di
tengah-tengah sebuah gapura yang disebut Gapura Supit Urang, badannya dikubur
pada sebuah anak tangga (sehingga anak tangga itu permukannya tidak rata), dan
kakinya dikubur di tengah kolam yang ada di sana. Penguburan badan Tumenggung
Endranata di anak tangga memiliki maksud tertentu. Sultan Agung ingin
memberikan pesan kepada rakyat bahwa pengkhianat akan sangat tidak dihargai.
Jasadnya akan diinjak-injak banyak orang. Itu adalah peringatan agar tidak ada
yang mengulangi hal ini lagi.
Anak
tangga sendiri memiliki kisah unik di Imogiri. Setiap orang yang pernah
berkunjung ke sana pasti bercerita begini,
“Kalau ke Imogiri, jangan lupa hitung
anak tangganya. Yang bisa hitung anak tangganya dengan benar, pasti
keinginannya terkabulkan.”
Anak tangga terbanyak di Imogiri ada 346
buah. Itu belum jumlah semuanya. Hanya yang terbanyak saja. Orang-orang,
termasuk adik saya, percaya dengan hal yang seperti itu. Sehingga, sore itu, ia
menghitung. Adik saya menghitung anak tangga. Satu demi satu. Di dalam hatinya.
Satu,
dua tiga, empat lima, enam, tujuh, delapan,…..
……..tiga
puluh dua, tiga puluh tiga, tiga puluh……
Sore
hampir berlalu. Matahari tidak lagi menampakkan batang hidung. Saya dan bapak
pemandu sudah mengelilingi makam-makam yang ada di Imogiri. Saat sampai di
pendopo, saya mendapati juru kunci sedang menceriterakan sesuatu. Hal gaib,
nampaknya. Dan benar begitu.
Terhanyut
aku akan nostalgi
saat
kita sering luangkan waktu
nikmati
bersama
suasana…….
Jogja. Kota yang masih kental akan
adatnya. Mistiknya. Sang juru kunci bercerita tentang sebuah cincin. Ya, cincin
seperti biasanya. Hanya saja, cincin ini terbuat dari kayu, yang berasal dari
tongkat Sultan Agung. Saya tertarik mendengar cerita itu. Saya mendekat. Duduk.
Menyimak. Konon katanya, cincin ini dapat memilih sendiri tuannya. Jika ada
orang yang menginginkan cincin ini mencelupkannya ke dalam air, lalu cincin ini
tenggelam (padahal, segala sesuatu yang terbuat dari kayu itu akan mengapung
apabila dicelupkan ke air) maka ia mau ikut dengan orang ini.
Aneh,
memang. Masyarakat modern akan sulit memahami hal gaib yang sulit ditangkap
akal sehat. Namun, tidak dengan Yogyakarta. Tidak ada yang aneh di kota ini.
Semua hal gaib itu adalah tradisi.
“Kalau cincin ini mau ikut sama Ibu dan
Bapak, Ibu dan Bapak hidupnya gak
bakalan susah. Cincin ini punya banyak khasiat,” ujar sang juru kunci.
“Ah, saya belum berani, Mbah. Pasti
hal-hal yang kayak gini ada
syarat-syaratnya,” jawab mama saya.
“Memang ada syaratnya. Tapi nggak susah, kok.”
“Mungkin kapan-kapan aja ya, Mbah. Saya belum berani.”
“Oh. Ya sudah.”
Ucap
perpisahan. Ucap terima kasih. Pengalaman yang tidak mungkin terbeli.
Makam-makam sunyi menghantar saya dan keluarga pergi. Pohon kamboja berbisik
hati-hati. Anak tangga-anak tangga bagai berlari, mengikuti langkah kami,
menghitung dirinya sendiri. Matahari merangkak pergi. Suatu saat nanti, saya
akan kembali tilik Imogiri.
Musisi
jalanan mulai beraksi
seiring
laraku kehilanganmu
merintih
sendiri
di
tengah deru kotamu……
“Mama takut ah sama yang kayak gitu,”
ujar mama sambil menyetir mobil, keluar dari kawasan Imogiri.
“Iya, Ma. Dari pada ntar malah kenapa-kenapa.
Cuma cincin sih. Tapi ngeri juga,” saya menjawab ringan.
‘SELAMAT JALAN MAKAM RAJA-RAJA.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar