.........
Oh
iya… Bener… Bener…
“Jadi 1001 (perbandingan) orang yang
menengah ke atas (untuk terkena kusta).”
Sedikit pasien
meninggal. Antara satu sampai sepuluh, hanya tiga yang meninggal, menurut Ibu
Elisabet. Yang membuat ngeri hanyalah kecacatan yang ditimbulkan penyakit
akibat bakteri Mycobacterium leprae
ini. Kusta tidak menyerang lever. Tidak menyerang jantung. Dari seribu pasien,
delapan ratus sembuh total, asal rajin menjalani pengobatan. Kusta menyerang saraf
tepi. Pasien-pasien yang meninggal adalah mereka yang terkena penyakit
komplikasi. Minuman keras. Rokok. Hidup tidak sehat. Tidak bersih. Itulah
penyebab-penyebab kematian. Ulah mereka sendiri.
Kusta basah.
Kusta kering. Dua jenis kusta. Luka-luka dan bernanah, itu adalah karakteristik
kusta basah. Reaksi dan menimbulkan cacat permanen di anggota tubuh, itu adalah
karakteristik kusta kering. Mengerikan, namun tidak mematikan.
“Pengemis jalanan sebenernya sudah sembuh, tapi mereka bikin (luka) lagi untuk cari
nafkah. Karena mereka sudah ditolak masyarakat.”
Jijik.
Takut. Parno. Ingin menghindar. Leprophobia, ketakutan berlebihan
terhadap penderita kusta. Potret masyarakat.
Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 Pasal 42 Tentang Hak Asasi Manusia:
“Setiap
warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya
negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Apa
kabarnya bantuan-bantuan itu?
Bagaimana
usaha untuk membina penderita kusta yang sudah keluar dari rumah sakit?
Di
mana kah Hak Asasi Manusia?
****
Seperti
apa RSK Dr. Sitanala itu?
“Sitanala
dulu rumah sakit kumuh. Tapi baru-baru ini direnovasi.” (Servulus Armando Dje,
Mahasiswa)
BANGUNAN zaman Belanda. Tua. Model kuno.
Baru direnovasi. Secure parking. Cat
berwarna hijau muda. Atap coklat tua. Tangerang, Banten. Bangunannya berbentuk khas Belanda. Halaman luas
membuat kami menelusur jalanan rumah sakit itu dengan mengendarai motor. Area lahan 54 hektar. RSK Dr. Sitanala. Dulu,
rumah sakit ini adalah rumah sakit khusus kusta yang didirkan Departemen
Kesehatan RI dan diberi nama ‘Rumah Sakit Sewan’ pada 28 Juli 1951. Sebagai penghargaan kepada dr. J.B. Sitanala,
dokter yang berasal dari Maluku dan pertama kalinya di Indonesia menangani
penderita kusta, pada 1962 rumah sakit ini diganti namanya
dengan ‘Pusat Rehabilitasi Sitanala’. Ny.
Rahmi Hatta, Ibu Wakil Presiden RI Pertama, meresmikan rumah sakit ini. ‘Rumah
Sakit Kusta Dr. Sitanala’ menjadi nama rumah sakit ini hingga sekarang, dan
melayani penyakit umum juga, di samping kusta.
Pasien kusta terlihat di koridor ruang perawatan.
Di koridor Seruni dan Flamboyan. Ada yang menggunakan kursi roda, ada yang
masih berjalan biasa, dan ada yang buta.
Kaos putih
bertuliskan ‘Thailand’ dan rok selutut ber motif batik mewarnai penampilan
wanita yang sudah 25 tahun menjalani kehidupannya melayani penderita kusta di
RSK Dr. Sitanala. Bertemu di kantin
rumah sakit yang lumayan bersih dan rapih, perawat ini melantunkan kata-kata
yang mungkin selama ini mengganjal hatinya.
“Mereka (orang lain di sekitar ibu
Elisabet) menganggap enteng sekali kalo
kerja di sini (RSK Dr. Sitanala). Ada kusta apa gitu.”
Mata
sayunya kian menurun. Merenung.
Suaranya
ringan. Mengalun dan santai. Logat Sumatera-nya nyaris tak terdengar.
Di
sela-sela kisahnya dan RSK Dr. Sitanala, ia bercerita tentang keluarganya.
Dua
orang putri, melaksanakan studi
psikologi di perguruan tinggi (UKRIDA) dan sekolah menegah pertama.
Seorang
suami, TNI, yang kini almarhum.
“Saya gak
malu kerja di sini. Dulu saya di RSU Tangerang,” lanjut ibu yang gemar
bernyanyi dan bermain voli ini.
Penerimaan.
Penghargaan. Rasa peduli. Kasih sayang. Semangat. Buah-buah kehidupan yang
didamba pasien-pasien kusta RSK Dr. Sitanala. Damba mereka ini menjadi
kebahagiaan ketika mendapati pelayanan dan ‘hidup normal’ dari para perawat
Rumah Sakit Kusta yang bertempat di Tangerang ini. Para perawat senantiasa
membantu mereka dan mengobrol. Saling bertukar kisah dan kasih.
Ibu
Elisabet bercerita tentang seorang pasien kusta yang masih remaja. Perempuan.
Waktu itu tahun 1989 atau 1990-an. Saat diantar oleh keluarganya ke rumah sakit,
ia dititipkan begitu saja. Setelah itu, keluarganya tidak pernah menjenguk
lagi. Gadis ini menjadi sedih dan merasa telah dibuang dan tidak dianggap
seseorang lagi di keluarganya.
Ada
pula cerita tentang seorang suami yang menderita kusta. Namun, ia
menyembunyikan penyakit ini dari istrinya dan tidak mau berobat ke rumah sakit.
Setelah kusta itu tidak bisa ditahan lagi, akhirnya ia mendatangi RSK Dr.
Sitanala bersama istrinya, dan bertemu dengan ibu Elisabet, yang sedang berjaga
saat itu. Mengetahui suaminya mengidap kusta, istri ingin meminta cerai. Sering
mendapati keadaan seperti ini, ibu Elisabet gusar.
“‘Ibu ingat,” saya bilang, “sakit di
suami Ibu kayak gitu, Ibu ga mau lagi merawat dia. Ga boleh begitu, Bu. Seandainya Ibu yang
begitu.”,’ ujarnya menirukan adegan kejadian beberapa tahun lalu.
‘”Kalau ibu merawat suaminya dalam
sakit-sakitnya begini, Ibu bahkan tidak bisa kena. Jadi ga boleh takut. Saya aja merawat setiap hari ga takut.”’
............................(bersambung ke "KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL (3))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar