Akhirnya istri itu tidak jadi bercerai
dengan suaminya. Ia merawat dan memperhatikan suaminya senantiasa. Bahkan kini,
hidup mereka lebih bahagia.
“Kita harus kasih pengertian kepada
pasien dan keluarganya. Supaya pasien (kusta) tidak terbuang,” ia mengakhiri
cerita suami istri itu sambil tersenyum.
Sudahkah
Anda menerima mereka?
Sudahkah
Anda menghargai mereka?
Sudahkah
Anda menyemangati mereka?
***
Apa
istimewanya?
“Rumah
sakit itu dulu pernah didatangi Lady Diana.” (Deonisia Arlinta, Mahasiswa)
“RS-nya...deket
rumah di Tangerang...bersih dan rapi walau bangunan tua..sering buat lokasi
shooting...beberapa film horor juga dibuat di situ....” (Mahendra, masyarakat)
RUMAH Sakit
Kusta terbesar se-Asia Tenggara. Ya. Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala. Banyak
penderita kusta yang di kirim ke sana.
Diana Frances
Spencer, atau yang lebih akrab disebut Lady Diana mengunjungi rumah sakit ini
pada 1989. Ia pun tidak ragu bersalaman dengan beberapa penderitanya. Karena
kedatangan istri Pangeran Charles ini, RSK Dr. Sitanala sempat menjadi sorot
perhatian masyarakat.
Selain dua hal
di atas, ada beberapa hal lagi yang membuat rumah sakit kusta ini istimewa.
Kerja bakti. Kegiatan-kegiatan pasien. Nikah massal.
“Kalo
sekarang ga ada kegiatan. Kalo dulu rumah sakit khusus Sitanala
itu banyak (pasien) main bola, tenis-tenis meja,” kata ibu Elisabet, “Dulu
sebulan sekali kerja bakti.”
Ada
motivasi-motivasi yang mendorong pasien kusta untuk sembuh dan melanjutkan
hidup di luar sana. Apakah itu? Ya. Ingin membesarkan anak-anak mereka.
Bagaimana bisa? Inilah ceritanya…..
Pasien
kusta juga manusia. Mereka memiliki ketertarikan kepada lawan jenis. Di rumah
sakit ini, mereka terkena ‘cinta lokasi’. Ya. Pasien kusta ada yang masih
muda-muda. Ibu Elisabet bercerita tentang mereka yang saling jatuh cinta.
Pasien-pasien kusta berkenalan satu sama lain. Saling mengobrol. Saling suka.
“Di sini pasiennya kalo muda, kalo
anak-anak muda, mereka suka pacaran gitu. Nanti kawin massal,” cerita ibu
Elisabet, “Dulu suka sama suka terus dikawinkan massal. Nanti mereka punya
anak, tidak mau mati lagi. Sebelum itu pada mati-mati terus.”
Pada
dasarnya sikap ini manusiawi. Rasa saling menyayangi. Keinginan tetap hidup
untuk anak-anak mereka.
Ibu Elisabet juga bercerita tentang alasan
diadakannya nikah massal, “Dari pada terjadi hal-hal gak diinginkan (kumpul kebo, berzinah, dll) maka pihak rumah sakit
menikahkan mereka secara massal.”
Apabila pasien yang mengikuti nikah massal
masih berada pada tahap perawatan, suami istri itu harus tinggal terpisah,
sesuai dengan ruangan perawatannya. Setelah sembuh, barulah mereka keluar dari
rumah sakit dan hidup bersama. Di belakang rumah sakit, ada sebuah pemukiman
yang berisi penderita-penderita kusta yang sudah sembuh. Lahan itu milik rumah
sakit, namun dipakai oleh mereka karena rumah sakit belum membutuhkannya.
Kegiatan nikah massal ini terakhir dilakukan pada tahun 2000. Hal ini
dikarenakan penurunan jumlah pasien yang ada di RSK Dr. Sitanala.
Cerita
penderita kusta. Cerita perawat. Cerita rumah sakit. Motivasi. Semangat.
Harapan. Cinta. Manusia.
“Prinsip saya pas pertama masuk itu
(adalah) kerja, saya gak memikirkan
(kusta) menular,” kenang ibu Elisabet, “Kalau saya merawat mereka, Tuhan pasti gak kasih menular. Itu prinsip saya.”
Kusta,
kematian, dan nikah massal. Tidak lupa, sosok perawat yang senantiasa melayani
para penderitanya. Jatuh bangun, suka dan duka. Che Guevara juga pernah berkata
pada salah satu penderita kusta, “You
gotta fight for every breath, and tell death to go to hell. (Ya, [hidup]
memang sangat mengecewakan, tapi kita harus berjuang untuk setiap napas kita
dan bilang pada kematian untuk enyah).”
***
“Ga
takut, Neng?” sapa seorang pasien kusta lanjut usia. Saat itu saya dan
Intan, seorang teman kuliah, melewati koridor ruang perawatan Seruni, ruang rawat
pasien kusta wanita di RSK Dr. Sitanala.
Jika
ditanya seperti itu, apa jawab yang akan Anda berikan kepadanya?
SELESAI........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar