^^

I am....

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
I live Journalistic, I speak Music, I write Paintings, I breath Words. Find me on Instagram as tamikira ! :)
Diberdayakan oleh Blogger.

I love my dad

I love my dad

I love my Mom

I love my Mom



Jumat, 14 Juni 2013

KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL (1)


KUSTA, RSK DR. SITANALA, DAN NIKAH MASSAL
Oleh Maria Meidiatami Kira


 “KUSTA susah matinya!” ujar seorang perawat Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala berdarah Sumatera, Ibu Elisabet namanya.

            Mata sayu. Rambut pendek, sebahu. Anting-anting. Gelang. Kalung. Cincin. Silver. Senyum. Senyum sumringah tersungging di wajah ibu yang lahir pada 24 Oktober 1963 yang masih segar itu. Garis-garis halus di tepian matanya lah yang bercerita tentang lika-liku dunia, yang hampir setengah abad ini ia jalani. Seorang ibu dengan dua putri. Seorang Istri.
Saat bercerita, gelak tawa kecilnya yang khas ibu-ibu mewarnai pendapat-pendapat masyarakat yang masih menganggap kusta sebagai sesuatu yang ngeri. Perawat ini seperti Ernesto Che Guevara, seorang calon dokter yang melakukan perjalanan menuju rumah sakit kusta terbesar di San Pablo dengan mengendarai sepeda motor, dalam The Motorcycle Diaries.

Bersama dengan ibu Elisabet



Ya. Mereka sedikit berbeda. Ernesto seorang lelaki calon dokter. Sedangkan ibu Elisabeth seorang perawat. Namun, mereka sama-sama tidak takut dan ingin mengubah pandangan orang-orang tentang kusta, atau lepra, atau Hansen’s disease.

Apa itu kusta?
“Penyakit seram dan bahaya. Soalnya menular.” (Aris Hwanggara, Mahasiswa)
Penyakit kulit dan syaraf, yang cukup ditakuti dan memang dampaknya bisa berbahaya, tapi mungkin terlalu banyak diekspos kengeriannya, tapi sedikit diketahui tentang apa yang sesungguhnya jadi penyebab dan bagaimana menghadapinya. Mungkin akan berbeda kalau masyarakat well-informed tentang kusta.” (Ariel Obadyah, Dosen)

Bener. Kusta itu susah matinya,” ibu Elisabet kembali berkata dengan nada serius yang ringan. Namun, mengubah pola pikir yang selama ini terukir di otak, yaitu kusta adalah penyakit mematikan.

            Penyakit yang menyerang saraf tepi manusia ini sudah ada sejak zaman purbakala. Di masa itu, penderita kusta mengasingkan diri secara spontan karena adanya rasa rendah diri dan malu terhadap kecacatan yang terjadi. Selain itu, manusia lain juga merasa takut dengan mereka. Di zaman pertengahan, penderita lebih diisolasi dan dibuang di suatu tempat (daerah) khusus orang-orang kusta dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Kemudian, di zaman modern, G.H. Hansen (1873) menemukan kuman kusta. Karena hal itu, penyakit kusta ini dikenal juga dengan nama Hansen’s Disease. Perkembangan tentang informasi dan penanggulangan kusta juga terjadi di Indonesia. Ada seorang dokter asal Maluku yang mempelopori berobat jalan bagi pasien kusta. Ia adalah dr. Sitanala. Pasien tidak lagi diisolasi di suatu tempat, namun diberikan DDS (diaminophenylsulfone) dan Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan WHO (World Health Organization). Obat-obatan untuk penderita kusta diberikan secara gratis oleh pemerintah di bawah pengawasan WHO.


Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan:
Pasal 4
“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam meperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Pasal 5
“Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungannya.”


            Selain diberikan pengobatan di rumah sakit, kini penderita kusta dapat menjangkau pelayanan yang sama di puskesmas. Sekarang, puskesmas-puskesmas wajib mengetahui cara penanggulangan penyakit kusta sehingga penderita mendapat pengobatan secepatnya.

Pasal 6
“Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraannya upaya kesehatan.”
Pasal 7
“Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”

            Masyarakat dunia yang terkena penyakit akibat bakteri Mycobacterium leprae ini tercatat 640.000 kasus pada 1999. Lalu, 738.284 kasus pada 2000. Kebanyakan penderita berasal dari India, Myanmar, dan Nepal. Di Indonesia, pada 2000, terdapat 15.000 penderita yang sebagian besar berasal dari Jawa Timur. Kemudian pada 2005, ada sedikitnya 21.000 kasus, dan jumlah itu belum menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
            Pemerintah membangun rumah sakit kusta sejumlah dua puluh dua rumah sakit. Menurut data pada 2003, kapasitas tempat tidur rumah sakit kusta disediakan 2.274 unit. Salah satunya adalah Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala.

“Kalau pasien dulu, kalau satu bulan ya, dulu bisa seribuan. Lewat seribu. Sehari bisa ratusan,” kata ibu Elisabet seraya mengingat-ingat, “(pasien) biasanya dari daerah pesisir sama pegunungan. Dari Kuningan, dari Indramayu, dari Kerawang.”

Pesisir. Pegunungan. Sanitasi. Kebersihan. Gizi. Ekonomi rendah.

Cuman kita kalo kusta ini terkena biasanya daerah-daerah pegunungan dan pesisir kenapa? Karena kurang kebersihan, kurangnya sanitasi, dan kurang gizi. Hanya itu aja.”

Kusta bukan penyakit turunan.
Kusta bukan penyakit menular.
Kusta bukan kutukan!

            Dengan gaya bercandanya yang lembut, ibu Elisabet menambahkan suatu pernyataan yang membuka wawasan tentang penyakit kusta.

“Makanya orang sakit kusta jarang di orang menengah ke atas.”

.......................(bersambung "Kusta, RSK Dr. Sitanala, dan Nikah Massal (2))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar