KUSTA, RSK DR. SITANALA,
DAN NIKAH MASSAL
Oleh Maria Meidiatami Kira
“KUSTA
susah matinya!” ujar seorang perawat Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala berdarah
Sumatera, Ibu Elisabet namanya.
Mata
sayu. Rambut pendek, sebahu. Anting-anting. Gelang. Kalung. Cincin. Silver.
Senyum. Senyum sumringah tersungging di wajah ibu yang lahir pada 24 Oktober
1963 yang masih segar itu. Garis-garis halus di tepian matanya lah yang
bercerita tentang lika-liku dunia, yang hampir setengah abad ini ia jalani. Seorang
ibu dengan dua putri. Seorang Istri.
Saat bercerita,
gelak tawa kecilnya yang khas ibu-ibu mewarnai pendapat-pendapat masyarakat
yang masih menganggap kusta sebagai sesuatu yang ngeri. Perawat ini seperti
Ernesto Che Guevara, seorang calon dokter yang melakukan perjalanan menuju
rumah sakit kusta terbesar di San Pablo dengan mengendarai sepeda motor, dalam The Motorcycle Diaries.
Bersama dengan ibu Elisabet |
Ya.
Mereka sedikit berbeda. Ernesto seorang lelaki calon dokter. Sedangkan ibu
Elisabeth seorang perawat. Namun, mereka sama-sama tidak takut dan ingin
mengubah pandangan orang-orang tentang kusta, atau lepra, atau Hansen’s disease.
Apa
itu kusta?
“Penyakit
seram dan bahaya. Soalnya menular.” (Aris Hwanggara, Mahasiswa)
“Penyakit kulit dan syaraf, yang cukup ditakuti dan memang
dampaknya bisa berbahaya, tapi mungkin terlalu banyak diekspos kengeriannya,
tapi sedikit diketahui tentang apa yang sesungguhnya jadi penyebab dan
bagaimana menghadapinya. Mungkin akan berbeda kalau masyarakat well-informed tentang kusta.” (Ariel Obadyah, Dosen)
“Bener.
Kusta itu susah matinya,” ibu Elisabet kembali berkata dengan nada serius yang
ringan. Namun, mengubah pola pikir yang selama ini terukir di otak, yaitu kusta
adalah penyakit mematikan.
Penyakit
yang menyerang saraf tepi manusia ini sudah ada sejak zaman purbakala. Di masa
itu, penderita kusta mengasingkan diri secara spontan karena adanya rasa rendah
diri dan malu terhadap kecacatan yang terjadi. Selain itu, manusia lain juga
merasa takut dengan mereka. Di zaman pertengahan, penderita lebih diisolasi dan
dibuang di suatu tempat (daerah) khusus orang-orang kusta dan menghabiskan sisa
hidupnya di sana. Kemudian, di zaman modern, G.H. Hansen (1873) menemukan kuman
kusta. Karena hal itu, penyakit kusta ini dikenal juga dengan nama Hansen’s Disease. Perkembangan tentang informasi
dan penanggulangan kusta juga terjadi di Indonesia. Ada seorang dokter asal
Maluku yang mempelopori berobat jalan bagi pasien kusta. Ia adalah dr.
Sitanala. Pasien tidak lagi diisolasi di suatu tempat, namun diberikan DDS (diaminophenylsulfone) dan Kombinasi
Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan WHO (World
Health Organization). Obat-obatan untuk penderita kusta diberikan secara
gratis oleh pemerintah di bawah pengawasan WHO.
Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan:
Pasal
4
“Setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam meperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Pasal
5
“Setiap
orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungannya.”
Selain
diberikan pengobatan di rumah sakit, kini penderita kusta dapat menjangkau
pelayanan yang sama di puskesmas. Sekarang, puskesmas-puskesmas wajib
mengetahui cara penanggulangan penyakit kusta sehingga penderita mendapat
pengobatan secepatnya.
Pasal
6
“Pemerintah
bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraannya upaya kesehatan.”
Pasal
7
“Pemerintah
bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat.”
Masyarakat
dunia yang terkena penyakit akibat bakteri Mycobacterium
leprae ini tercatat 640.000 kasus pada 1999. Lalu, 738.284 kasus pada 2000.
Kebanyakan penderita berasal dari India, Myanmar, dan Nepal. Di Indonesia, pada
2000, terdapat 15.000 penderita yang sebagian besar berasal dari Jawa Timur.
Kemudian pada 2005, ada sedikitnya 21.000 kasus, dan jumlah itu belum
menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya.
Pemerintah
membangun rumah sakit kusta sejumlah dua puluh dua rumah sakit. Menurut data
pada 2003, kapasitas tempat tidur rumah sakit kusta disediakan 2.274 unit. Salah
satunya adalah Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala.
“Kalau pasien dulu, kalau satu bulan ya,
dulu bisa seribuan. Lewat seribu. Sehari bisa ratusan,” kata ibu Elisabet seraya
mengingat-ingat, “(pasien) biasanya dari daerah pesisir sama pegunungan. Dari
Kuningan, dari Indramayu, dari Kerawang.”
Pesisir.
Pegunungan. Sanitasi. Kebersihan. Gizi. Ekonomi rendah.
“Cuman
kita kalo kusta ini terkena biasanya daerah-daerah pegunungan dan pesisir
kenapa? Karena kurang kebersihan, kurangnya sanitasi, dan kurang gizi. Hanya
itu aja.”
Kusta
bukan penyakit turunan.
Kusta
bukan penyakit menular.
Kusta
bukan kutukan!
Dengan
gaya bercandanya yang lembut, ibu Elisabet menambahkan suatu pernyataan yang
membuka wawasan tentang penyakit kusta.
“Makanya orang sakit kusta jarang di
orang menengah ke atas.”
.......................(bersambung "Kusta, RSK Dr. Sitanala, dan Nikah Massal (2))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar