DINDING BERSUARA DI KENYA
Oleh Maria Meidiatami
Kira
(Sumber : Kenya Rising by Karen Moyo)
Lembaran
kertas yang tak lagi mulus dan penuh coretan pembetulan itu diambil oleh
seorang lelaki berambut gimbal dengan gelang biru di tangan kanannya. Political
assasinations, land grabbing, tribal clashes, ethnic cleansing, drug dealing,
dan lain sebagainya adalah tulisan jelas yang tertera di atas kertas itu.
Ini adalah sebuah cerita tentang
Kenya. Negara ini memiliki penguasa yang kejam. Ya, mereka adalah orang-orang
anggota Parlemen. Mereka rakus. Penguasa di sini makan dari pajak yang dibayar
penduduk, memerkosa para ibu, merampas tanah rakyat. Warga Kenya hidup dengan
biaya di bawah satu dolar setiap harinya. “Kami ingin menunjukkan kepada
masyarakat siapa penguasa-penguasa itu lewat seni. Supaya mereka tahu. Kami
bisa melawan untuk mendapatkan kembali Negara ini.”
“Kami sedang mencoba untuk
menunjukkan apa yang dirasakan. Ini adalah graffiti pertama dan kami merasa
belum bisa melakukannya dengan baik.
Kami menantang hukum. Oleh karena itu, kami akan melakukannya secepat
yang kami bisa,” ucap seorang aktivis berumur 29 tahun. Ia adalah Boniface
Mwangi.
Saat itu pukul delapan malam di Nairobi.
Boniface dan timnya berangkat menuju lokasi untuk membuat grafiti. Sebelum melaksanakan
hal ini, Boniface merasa gugup. “Kenya adalah salah satu negara paling cantik
yang ada di dunia. Namun, warga Kenya adalah pengecut,” katanya. “Kami banyak
menggerutu tentang korupsi, impunity,
perampasan tanah, tetapi kami tidak melakukan apa-apa.”
Sembari
menyaksikan persiapan rekan-rekannya yang akan membuat grafiti, Boniface
bercerita bahwa mereka meninggalkan zona nyaman mereka dan datang ke pusat kota
dan mengatakan kebenaran. Para seniman ini menggambar dengan luwes di dinding
dan saling bekerja sama untuk menghasilkan grafiti indah, sesuai dengan
pesan-pesan yang telah disiapkan. Hanya ada satu tangga di sana. Satu tangga
yang digunakan lima orang untuk menggambar di pinggir jalan.
Malam itu tidak sepi. Banyak anak
muda datang dan menonton aksi mereka yang diam-diam mencekam hati banyak orang.
Para seniman itu bekerja dengan hati-hati. Mereka tidak ingin menarik perhatian
polisi.
Membuka pikiran banyak orang
tidaklah mudah. Boniface dan rekan-rekannya ingin membuka mata para kaum muda yang
mengerti seni grafiti agar mereka lebih sadar dan peduli pada Kenya. “Ini
adalah senjata kami,” ucap Bankslave, seorang seniman grafiti yang ikut andil
malam itu. “My Voice, My Vote, Our
Future!”
“Besok pagi orang-orang akan bangun
dan melihat gambar ini memukul mereka tepat di wajah seperti ini, boom!” Bankslave yang sedang
beristirahat mengatakan hal itu dengan ringan. Ya. Para aktivis ini tidak sabar
untuk melihat tanggapan masyarakat akan hasil karya mereka.
Pagi itu pukul tujuh. Warga Kenya
memulai hari mereka dengan berjalan menuju dinding di pinggir jalan yang penuh
dengan warna-warni politik Negara. Seorang lelaki dengan kamera yang ada di
telepon genggamnya memotret gambar-gambar itu. Beberapa orang lagi berkomentar
tentang tulisan yang tertera jelas di dinding tempat rahasia politik bertebaran
itu. “Ini adalah perbuatan beberapa orang yang ingin membuat kekacauan di
Kenya,” ujar salah satu lelaki yang ada di sana. Lelaki lain, yang melihat dari
kejauhan, melihat rintih ke arah dinding kebenaran, mengerjapkan mata,
menopangkan dagunya. “I STEAL THEIR
TAXES, GRAB LAND, BUT THE IDIOTS WILL STILL VOTE FOR ME” membuat beberapa
warga yang kebanyakan lelaki itu tertegun, tersenyum, meringis, tertawa
ringkih. “We are idiots. Idiots are
voters”.
Dari
kejauhan tampak seorang lelaki dengan koran di tangannya. Koran itu dibukanya
lebar-lebar. Terduduk di sebuah bongkah bangunan, ia membaca korannya.
Tersingkap di bawah harapan-harapan akan pemimpin jujur, adil, berani, mau
melayani, dan hal-hal baik lainnya, lelaki itu bersanding dengan goresan rupa
seorang yang sedang berpikir tentang masa depan negaranya.
Masalah baru seperti menggoda
keteguhan hati Boniface yang berusaha menegakkan keadilan. “Setelah mural pertama selesai, banyak politikus
yang mendekati saya dan mengajak bekerja sama. Mereka menawarkan uang, masa
depan, dan jaminan baik untuk anak saya. Namun, saya menolak itu semua. Mereka
tidak senang. Mereka menjanjikan masalah bagi saya.” Boniface berurusan dengan
polisi, namun, berkat kerja sama dengan orang-orang yang peduli, ia dilepaskan
tanpa denda dari kantor polisi.
“Negara kami menjalankan hukum
secara selektif. Bila anda lemah dan miskin, pihak berwenang akan menekan anda
dengan perlakuan kasar. Namun, bila anda orang kaya yang mencuri uang banyak
orang, mereka akan menawarkan perlindungan, walaupun anda sama bersalahnya
dengan orang miskin dan lemah itu,” ujar Boniface.
Usaha-usaha yang dilakukan Boniface
dan kawan-kawan tidak berhenti hanya pada mural
saja, namun juga pameran foto yang menceritakan kisah kelam Kenya. Di sebuah
lapangan rumput hijau, beberapa partisi dipasang dan ditempeli foto-foto
kenyataan kejam. Gambar-gambar itu menangis dan berteriak. Seorang ibu tua,
dalam paniknya, menentang tegas aksi pameran foto ini. “Mereka tidak seharusnya
membawa foto-foto ini ke sini. Warga sudah lupa akan hal-hal mengerikan ini dan
sekarang foto-foto ini akan menghantui mereka lagi,” isaknya. Di hadapan sebuah
foto, seorang lelaki menahan ibanya, menggelengkan kepala.
Di saat yang bersamaan, para warga
Kenya tahu bahwa pesan dari segala tindakan yang dilakukan Boniface bukanlah
kebencian, melainkan perdamaian. Hal itu tampak pada aksi terakhir yang
dilakukan Boniface dan kawan-kawan. Kali ini peti-peti mati menghidupkan
jalanan Nairobi. Pesan-pesan politik menyimpang tertera di permukannya.
Polisi-polisi bersenjata berdiri di pinggir jalan, memerhatikan dengan diam.
“Tidak seharusnya kita kehilangan
harapan. Perubahan tidak datang setiap malamnya. Mungkin apa yang saya mulai
perbuat hari ini akan dilanjutkan dan diselesaikan oleh putra saya. Namun, saya
selalu berdoa, waktu itu akan datang secepatnya,” kata Boniface seraya
mengantar anak lelakinya masuk ke dalam mobil. Bersama anak dan istrinya di
hari itu, ia pulang, mengantarkan ucap selamat tinggal pada dinding-dinding
bersuara di Kenya.
Sip, awal tulisan cukup memikat
BalasHapusterima kasih, bapak. semoga untuk kedepannya bisa lebih baik dari ini. (:
Hapus