^^

I am....

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
I live Journalistic, I speak Music, I write Paintings, I breath Words. Find me on Instagram as tamikira ! :)
Diberdayakan oleh Blogger.

I love my dad

I love my dad

I love my Mom

I love my Mom



Selasa, 26 Februari 2013

Dinding Bersuara di Kenya


DINDING BERSUARA DI KENYA

Oleh Maria Meidiatami Kira
(Sumber : Kenya Rising by Karen Moyo)

            Lembaran kertas yang tak lagi mulus dan penuh coretan pembetulan itu diambil oleh seorang lelaki berambut gimbal dengan gelang biru di tangan kanannya.  Political assasinations, land grabbing, tribal clashes, ethnic cleansing, drug dealing, dan lain sebagainya adalah tulisan jelas yang tertera di atas kertas itu.
            Ini adalah sebuah cerita tentang Kenya. Negara ini memiliki penguasa yang kejam. Ya, mereka adalah orang-orang anggota Parlemen. Mereka rakus. Penguasa di sini makan dari pajak yang dibayar penduduk, memerkosa para ibu, merampas tanah rakyat. Warga Kenya hidup dengan biaya di bawah satu dolar setiap harinya. “Kami ingin menunjukkan kepada masyarakat siapa penguasa-penguasa itu lewat seni. Supaya mereka tahu. Kami bisa melawan untuk mendapatkan kembali Negara ini.”


            “Kami sedang mencoba untuk menunjukkan apa yang dirasakan. Ini adalah graffiti pertama dan kami merasa belum bisa melakukannya dengan baik.  Kami menantang hukum. Oleh karena itu, kami akan melakukannya secepat yang kami bisa,” ucap seorang aktivis berumur 29 tahun. Ia adalah Boniface Mwangi.
             Saat itu pukul delapan malam di Nairobi. Boniface dan timnya berangkat menuju lokasi untuk membuat grafiti. Sebelum melaksanakan hal ini, Boniface merasa gugup. “Kenya adalah salah satu negara paling cantik yang ada di dunia. Namun, warga Kenya adalah pengecut,” katanya. “Kami banyak menggerutu tentang korupsi, impunity, perampasan tanah, tetapi kami tidak melakukan apa-apa.”
Sembari menyaksikan persiapan rekan-rekannya yang akan membuat grafiti, Boniface bercerita bahwa mereka meninggalkan zona nyaman mereka dan datang ke pusat kota dan mengatakan kebenaran. Para seniman ini menggambar dengan luwes di dinding dan saling bekerja sama untuk menghasilkan grafiti indah, sesuai dengan pesan-pesan yang telah disiapkan. Hanya ada satu tangga di sana. Satu tangga yang digunakan lima orang untuk menggambar di pinggir jalan.
            Malam itu tidak sepi. Banyak anak muda datang dan menonton aksi mereka yang diam-diam mencekam hati banyak orang. Para seniman itu bekerja dengan hati-hati. Mereka tidak ingin menarik perhatian polisi.
            Membuka pikiran banyak orang tidaklah mudah. Boniface dan rekan-rekannya ingin membuka mata para kaum muda yang mengerti seni grafiti agar mereka lebih sadar dan peduli pada Kenya. “Ini adalah senjata kami,” ucap Bankslave, seorang seniman grafiti yang ikut andil malam itu. “My Voice, My Vote, Our Future!”
            “Besok pagi orang-orang akan bangun dan melihat gambar ini memukul mereka tepat di wajah seperti ini, boom!” Bankslave yang sedang beristirahat mengatakan hal itu dengan ringan. Ya. Para aktivis ini tidak sabar untuk melihat tanggapan masyarakat akan hasil karya mereka.
            Pagi itu pukul tujuh. Warga Kenya memulai hari mereka dengan berjalan menuju dinding di pinggir jalan yang penuh dengan warna-warni politik Negara. Seorang lelaki dengan kamera yang ada di telepon genggamnya memotret gambar-gambar itu. Beberapa orang lagi berkomentar tentang tulisan yang tertera jelas di dinding tempat rahasia politik bertebaran itu. “Ini adalah perbuatan beberapa orang yang ingin membuat kekacauan di Kenya,” ujar salah satu lelaki yang ada di sana. Lelaki lain, yang melihat dari kejauhan, melihat rintih ke arah dinding kebenaran, mengerjapkan mata, menopangkan dagunya. “I STEAL THEIR TAXES, GRAB LAND, BUT THE IDIOTS WILL STILL VOTE FOR ME” membuat beberapa warga yang kebanyakan lelaki itu tertegun, tersenyum, meringis, tertawa ringkih. “We are idiots. Idiots are voters”.
Dari kejauhan tampak seorang lelaki dengan koran di tangannya. Koran itu dibukanya lebar-lebar. Terduduk di sebuah bongkah bangunan, ia membaca korannya. Tersingkap di bawah harapan-harapan akan pemimpin jujur, adil, berani, mau melayani, dan hal-hal baik lainnya, lelaki itu bersanding dengan goresan rupa seorang yang sedang berpikir tentang masa depan negaranya.
            Masalah baru seperti menggoda keteguhan hati Boniface yang berusaha menegakkan keadilan. “Setelah mural pertama selesai, banyak politikus yang mendekati saya dan mengajak bekerja sama. Mereka menawarkan uang, masa depan, dan jaminan baik untuk anak saya. Namun, saya menolak itu semua. Mereka tidak senang. Mereka menjanjikan masalah bagi saya.” Boniface berurusan dengan polisi, namun, berkat kerja sama dengan orang-orang yang peduli, ia dilepaskan tanpa denda dari kantor polisi.
            “Negara kami menjalankan hukum secara selektif. Bila anda lemah dan miskin, pihak berwenang akan menekan anda dengan perlakuan kasar. Namun, bila anda orang kaya yang mencuri uang banyak orang, mereka akan menawarkan perlindungan, walaupun anda sama bersalahnya dengan orang miskin dan lemah itu,” ujar Boniface.
            Usaha-usaha yang dilakukan Boniface dan kawan-kawan tidak berhenti hanya pada mural saja, namun juga pameran foto yang menceritakan kisah kelam Kenya. Di sebuah lapangan rumput hijau, beberapa partisi dipasang dan ditempeli foto-foto kenyataan kejam. Gambar-gambar itu menangis dan berteriak. Seorang ibu tua, dalam paniknya, menentang tegas aksi pameran foto ini. “Mereka tidak seharusnya membawa foto-foto ini ke sini. Warga sudah lupa akan hal-hal mengerikan ini dan sekarang foto-foto ini akan menghantui mereka lagi,” isaknya. Di hadapan sebuah foto, seorang lelaki menahan ibanya, menggelengkan kepala.
            Di saat yang bersamaan, para warga Kenya tahu bahwa pesan dari segala tindakan yang dilakukan Boniface bukanlah kebencian, melainkan perdamaian. Hal itu tampak pada aksi terakhir yang dilakukan Boniface dan kawan-kawan. Kali ini peti-peti mati menghidupkan jalanan Nairobi. Pesan-pesan politik menyimpang tertera di permukannya. Polisi-polisi bersenjata berdiri di pinggir jalan, memerhatikan dengan diam.
            “Tidak seharusnya kita kehilangan harapan. Perubahan tidak datang setiap malamnya. Mungkin apa yang saya mulai perbuat hari ini akan dilanjutkan dan diselesaikan oleh putra saya. Namun, saya selalu berdoa, waktu itu akan datang secepatnya,” kata Boniface seraya mengantar anak lelakinya masuk ke dalam mobil. Bersama anak dan istrinya di hari itu, ia pulang, mengantarkan ucap selamat tinggal pada dinding-dinding bersuara di Kenya.

2 komentar:

  1. Sip, awal tulisan cukup memikat

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, bapak. semoga untuk kedepannya bisa lebih baik dari ini. (:

      Hapus