^^

I am....

Foto saya
Yogyakarta, DIY, Indonesia
I live Journalistic, I speak Music, I write Paintings, I breath Words. Find me on Instagram as tamikira ! :)
Diberdayakan oleh Blogger.

I love my dad

I love my dad

I love my Mom

I love my Mom



Selasa, 07 Mei 2013

Tilik Imogiri


TILIK IMOGIRI

Oleh Maria Meidiatami Kira



‘SELAMAT DATANG DI MAKAM RAJA-RAJA.’

“Pak, di sini tempat parkirnya, ya?” tanya mama saya, dari kemudi mobil.

Seorang lelaki mendekat. Baju tradisional Jawa-nya berwarna hijau. Ia memakai jarik, kain batik panjang yang dilingkarkan di pinggang sebagai bawahan. Ia mengenakan blangkon, semacam topi, khas Jawa. Kulitnya sawo matang. Keriput ada di bagian mata dan sekitar pipinya.

“Bisa. Tapi dari sini masih naik lagi. Jauh,” katanya.

“Mobil bisa naik nggak ke sana?”

“Bisa. Mari, saya antar,” ujar lelaki itu dengan logatnya yang halus dan medhok. Ia mengambil sepeda motor tuanya. Mulai memandu.

Naik… Naik…
Ke puncak (bukit) gunung…
Tinggi…
Tinggi sekali…


Kopling. Gigi satu. Gas. Pedal kopling ditahan setengah. Gigi satu tetap. Pedal gas ditekan setengah, lebih sedikit. 40 km/ jam. Roda-roda berputar, berusaha menghantarkan badan mobil yang berisi empat penumpang. Kecepatannya stabil. Tidak ngebut, tidak lelet. Wajar saja, medan yang ditempuh si mobil ini ternyata tidak mudah. Jalan sempit. Kendaraan, khususnya mobil, harus saling menunggu ketika berpapasan. Berliku. Sama halnya dengan jalan pegunungan, perbukitan pun memiliki jalan yang tidak lurus. Terjal. Jalanan menanjak. Jalan menurun.

Kiri… Kanan…
Kulihat saja…
Banyak pohon...

Pohon-pohon berbatang tinggi. Daun-daunnya kecil, hijau muda. Hijau tua, sebagian. Yang jelas itu bukan cemara. Bukan pohon jati. Mungkin pohon karet.
Rimbun tanaman hijau di pinggir jalan seolah menyaksikan perjuangan si mobil mencapai puncak bukit yang merupakan makam-makam para Raja Yogyakarta. Raja-Raja Surakarta yang telah meninggal ada juga yang di kubur di sana.
Pemakaman ini seperti pemakaman biasanya. Pohon-pohon. Kamboja. Penjaga makam. Suasana sepi. Namun, ada pula yang membedakan pemakaman ini dengan pemakaman pada umumnya. Candi-candi. Pintu gerbang. Juru kunci. Tata cara berpakaian. Mitos.
            Bapak pemandu yang berbicara dengan logat Jawa yang kental ini menerangkan seluk-beluk Imogiri dengan terstruktur dan gampang dimengerti.

“Ini makamnya cuma dibuka pas hari-hari tertentu saja,” katanya, “kalau mau masuk, bisa, tapi harus minta surat izin dulu ke juru kunci.”

Rp 100.000,00/ orang. Biaya yang tidak sedikit untuk surat izin. Lelaki dengan blangkon di kepalanya ini menerangkan tentang pendapatan para penjaga makam yang tidak banyak. Mereka mengandalkan rezeki yang didapat melalui pengunjung yang ingin mengunjungi makam dengan surat izin.

“Nanti kalo mau masuk ke makam, harus ganti pakaian, ya,” ujar sang pemandu.

Kemben, kain panjang sampai kaki, tanpa perhiasan. Syarat untuk pengunjung perempuan. Baju peranakan, kain panjang sampai kaki, blangkon. Syarat untuk pengunjung laki-laki. Namun, dengan berat hati saya dan keluarga tidak jadi mengunjungi makam-makam tersebut. Kami memutuskan untuk melihat makam dari luar saja.
            Kembali ke soal makam. Di Imogiri, makam tidak hanya ditempatkan di suatu tempat layaknya makam ditempatkan. Adalah Tumenggung Endranata, seorang pribumi yang mengkhianati bangsanya sendiri. Ia memberitahukan letak lumbung padi kepada Belanda, sehingga lumbung itu dimusnahkan oleh mereka. Perilaku si pengkhianat tersebut mendapat ganjarannya. Tumenggung Endranata dipenggal kepalanya, dipotong tubuhnya, sehingga ada tiga bagian terpisah. Kepalanya dikubur di tengah-tengah sebuah gapura yang disebut Gapura Supit Urang, badannya dikubur pada sebuah anak tangga (sehingga anak tangga itu permukannya tidak rata), dan kakinya dikubur di tengah kolam yang ada di sana. Penguburan badan Tumenggung Endranata di anak tangga memiliki maksud tertentu. Sultan Agung ingin memberikan pesan kepada rakyat bahwa pengkhianat akan sangat tidak dihargai. Jasadnya akan diinjak-injak banyak orang. Itu adalah peringatan agar tidak ada yang mengulangi hal ini lagi.
            Anak tangga sendiri memiliki kisah unik di Imogiri. Setiap orang yang pernah berkunjung ke sana pasti bercerita begini,

“Kalau ke Imogiri, jangan lupa hitung anak tangganya. Yang bisa hitung anak tangganya dengan benar, pasti keinginannya terkabulkan.”

Anak tangga terbanyak di Imogiri ada 346 buah. Itu belum jumlah semuanya. Hanya yang terbanyak saja. Orang-orang, termasuk adik saya, percaya dengan hal yang seperti itu. Sehingga, sore itu, ia menghitung. Adik saya menghitung anak tangga. Satu demi satu. Di dalam hatinya.

Satu, dua tiga, empat lima, enam, tujuh, delapan,…..
……..tiga puluh dua, tiga puluh tiga, tiga puluh……

            Sore hampir berlalu. Matahari tidak lagi menampakkan batang hidung. Saya dan bapak pemandu sudah mengelilingi makam-makam yang ada di Imogiri. Saat sampai di pendopo, saya mendapati juru kunci sedang menceriterakan sesuatu. Hal gaib, nampaknya. Dan benar begitu.

Terhanyut aku akan nostalgi
saat kita sering luangkan waktu
nikmati bersama
suasana…….

Jogja. Kota yang masih kental akan adatnya. Mistiknya. Sang juru kunci bercerita tentang sebuah cincin. Ya, cincin seperti biasanya. Hanya saja, cincin ini terbuat dari kayu, yang berasal dari tongkat Sultan Agung. Saya tertarik mendengar cerita itu. Saya mendekat. Duduk. Menyimak. Konon katanya, cincin ini dapat memilih sendiri tuannya. Jika ada orang yang menginginkan cincin ini mencelupkannya ke dalam air, lalu cincin ini tenggelam (padahal, segala sesuatu yang terbuat dari kayu itu akan mengapung apabila dicelupkan ke air) maka ia mau ikut dengan orang ini.
            Aneh, memang. Masyarakat modern akan sulit memahami hal gaib yang sulit ditangkap akal sehat. Namun, tidak dengan Yogyakarta. Tidak ada yang aneh di kota ini. Semua hal gaib itu adalah tradisi.

“Kalau cincin ini mau ikut sama Ibu dan Bapak, Ibu dan Bapak hidupnya gak bakalan susah. Cincin ini punya banyak khasiat,” ujar sang juru kunci.

“Ah, saya belum berani, Mbah. Pasti hal-hal yang kayak gini ada syarat-syaratnya,” jawab mama saya.

“Memang ada syaratnya. Tapi nggak susah, kok.”

“Mungkin kapan-kapan aja ya, Mbah. Saya belum berani.”

“Oh. Ya sudah.”

            Ucap perpisahan. Ucap terima kasih. Pengalaman yang tidak mungkin terbeli. Makam-makam sunyi menghantar saya dan keluarga pergi. Pohon kamboja berbisik hati-hati. Anak tangga-anak tangga bagai berlari, mengikuti langkah kami, menghitung dirinya sendiri. Matahari merangkak pergi. Suatu saat nanti, saya akan kembali tilik Imogiri.

Musisi jalanan mulai beraksi
seiring laraku kehilanganmu
merintih sendiri
di tengah deru kotamu……

“Mama takut ah sama yang kayak gitu,” ujar mama sambil menyetir mobil, keluar dari kawasan Imogiri.

“Iya, Ma. Dari pada ntar malah kenapa-kenapa. Cuma cincin sih. Tapi ngeri juga,” saya menjawab ringan.

‘SELAMAT JALAN MAKAM RAJA-RAJA.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar